Rabu, 04 Januari 2017

PSIKOPAT

Riyan terbakar emosi. Melihat pertengkaran Bapak dan Anak di depan matanya. Tangan Riyan sudah terkepal sejak lama. Ia tahan dan tindas amarahnya.

"Jangan, jangan, jangan aku lakukan!" Hardik Riyan pada diri sendiri.

Bapak itu menempeleng anaknya sampai terjungkal. Riyan menyeduh kopi seraya melirik pertengkaran itu dari balik jendela kedai kopi. Sedang dadanya tersedak-sedak.

Anak itu (siapakah namanya), masih berumuran belasan tahun. Kelihatan dari perawakannya: berbetis kecil, kulitnya masih kencang dan halus, dan kepalanya juga kecil. Apalagi ketika menjerit, suaranya cempreng.

Riyan mengiba memandang seorang anak kecil itu menangis tersedu-sedu di luar rumah, sendirian, tanpa ada pembela, dan orang-orang yang berseliweran acuh tak peduli.  Sedang Bapaknya telah masuk ke dalam, dan menelantarkan anaknya begitu saja.

Terus Riyan pandangi anak kecil itu yang menutupi katup mata yang mengalir air mata. Riyan terlongo-longo ketika anak kecil itu berjalan terseok-seok keluar dari rumah.

Sejurus itu Riyan mengumpat, "Bodoh!"

"Coba lihat," Riyan mengajak teman ngopinya, Yulian, bicara.

"Mana?" Yulian mengedar pandangan ke segala arah.

"Itu." Jari telunjuk Riyan menyentuh arah anak kecil yang berjalan.

"Kenapa?"

"Dulu aku pernah dikasari orang tua. Dan dan dan ... "

"Dan apa??" Yulian memandang Riyan, heran.

.....
.........
Ingatan Riyan menembus masa silamnya. Kira-kira lima belas tahun yang lalu. Ketika ia masih seperti anak kecil yang dihajar Bapaknya itu.

Sebagai anak yang dididik orang-orang berwatak keras. Menjadikan Riyan turut memiliki kekerasan, bahkan lebih sadis.

"Dasar anak tidak tahu diuntung!" Bapak Riyan, Sunariyo, menjenggung kepala Riyan.

"Kenapa Bapak? Itu kan hak saya, memilih."

"Bodoh! Siapa itu Nur, dia bukan anak siapa-siapa."

"Tapi saya mencintainya."

"Mencintai silakan, tapi tidak untuk menikah."

"Begitu?" Riyan terlongo, hampir tidak percaya kata Bapaknya, yang orang-orang menyebutnya 'alim'. "Jadi Bapak tidak mau menikahkan saya?"

"Tidak untuk Nur!"

"Ya sudah!" Riyan balik kanan, dan berjalan, "Saya bisa menikah sendiri tanpa Bapak tanpa Ibu."

"Sungguh sia-sia sekali aku membesarkanmu Nak!"

Riyan berhenti dan memutar kepala. Seraya melirik Bapaknya dengan kemarahan.

"Coba ulangi kembali, Riyan sepertinya budeg."

"Pergi sana! Jauh! Kau sudah tak kuanggap jadi anak lagi."

Sebuah pistol diraih dari saku Riyan. Pelan-pelan ia arahkan ke diri Bapaknya. Sunariyo menjerit histeris. Kedua tangannya melambai-lambai. Sebentar memegangi kedua telinga. Kemudian Sunariyo mengambil ancang-ancang lari sekencangnya. Dan sembunyi.

Sayang sekali, terlambat dan "Dooooorrr!"

Sunariyo menjelempah di atas lantai.

Tetangga-tetangga mulai gempar dan riuh dan menghampiri sumber suara. Riyan langsung bergegas melarikan diri dari pintu belakang. Melewati semak-semak.

Riyan menangis.

Ia keluarkan pistol yang itu juga dari tasnya.

"Wah! Hati-hati keluarkan pistol," kata Yulian setengah berbisik.

Riyan memandang temannya dengan tersenyum. Dan ia sembunyikan pistol di bawah meja.

Kemudian ia usap-usap pistol yang dingin itu dengan sapu tangan. Lama tidak pernah digunakan pistol itu diselimuti debu.

Pistolnya sudah mengkilat. Ia periksa isi peluru: lengkap.

Riyan berdiri.

"Mau kemana kau? Kita harus kembali bertugas. Bos punya target pembunuhan baru." Cegah Yulian.

"Sebentar," Riyan memandang anak kecil tadi yang menangis, "Aku mau titipkan pistol ini ke anak itu."

Yulian terperangah.

Tuban, 5 Januari 2017
______________________

Penulis Much Taufiqillah Al Muvti, tidak sadar bisa menulis cerpen. Apa yang pembaca baca, adalah hasil tulisan penulis diantara sadar dan mimpi.